Banyak yang bilang, Faktur Pajak merupakan ruh dari PPN di Indonesia. Setiap transaksi atau kegiatan yang terutang PPN, harus dibuatkan Faktur Pajaknya. Namun meski begitu, Faktur Pajak tidak boleh dibuat (baca: diterbitkan) dalam sembarang waktu. Terlambat menerbitkan Faktur Pajak, penerbit bisa kena sanksi denda. Sedangkan terburu-buru menerbitkan Faktur Pajak, penerima bisa dikoreksi karena Faktur Pajak dianggap prematur. Dalam artikel ini, akan dibahas soal waktu atau saat yang tepat untuk menerbitkan Faktur Pajak.
Dasar hukum yang saat ini digunakan sebagai penentu penerbitan Faktur Pajak adalah Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012. Ketentuan yang ada dalam PP ini sebenarnya sama persis dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-50/PJ/2011 tanggal 3 Agustus 2011. Tetapi dengan adanya ketentuan yang tegas yang diatur dalam peraturan setingkat PP, ini tentunya bisa memberikan kepastian hukum yang jelas bagi para pelaku bisnis khususnya mereka yang sudah menjadi PKP.
Ketentuan Umum Faktur Pajak
Seperti sudah diketahui, bila kita sudah dikukuhkan menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak), maka kita diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak atas setiap transaksi atau kegiatan penyerahan BKP maupun JKP baik penyerahan secara lokal atau ekspor. Kewajiban membuat Faktur Pajak ini tetap berlaku (harus kita lakukan) meskipun misalnya terhadap penyerahan BKP atau JKP tersebut mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut maupun PPN Dibebaskan.
Pembuatan (baca: penerbitan) Faktur Pajak tersebut harus kita lakukan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan. UU perpajakan, khususnya UU KUP, tidak mentolerir keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Setiap keterlambatan penerbitan Faktur Pajak, meski hanya sehari saja, bisa mengakibatkan kita sebagai penerbit Faktur Pajak, dikenakan sanksi denda keterlambatan penerbitan Faktur Pajak.
Dendanya pun tidak sedikit. 2% dari DPP yang tercantum dalam Faktur Pajak yang terlambat diterbitkan tersebut. Jadi misalnya kita membuat Faktur Pajak untuk penyerahan BKP dengan harga jual Rp 10.000.000,00 tanpa diskon dan uang muka atau termin, kita bisa kena sanksi denda 2% dari Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000,00. Itu kalau DPP-nya Rp 10.000.000,00. Coba kita bayangkan terhadap transaksi penyerahan BKP tertentu yang harganya hingga ratusan juta rupiah, misalnya alat-alat rumah sakit, konstruksi, dlsb. Tentu sanksinya akan lebih besar lagi. Oleh karena itulah, kita sebagai PKP harus betul-betul memahami saat pembuatan (penerbitan) Faktur Pajak ini.
Identifikasi Saat Terutang PPN
Untuk mengetahui kapan Faktur Pajak harus diterbitkan, PKP harus memahami terlebih dahulu mengenai kapan saat terutangnya PPN. Sebab prinsipnya Faktur Pajak itu harus diterbitkan pada saat terutangnya PPN. Sementara itu, saat terutangnya PPN itu ternyata juga sangat ditentukan oleh kapan saat penyerahan BKP dilakukan. Jadi bisa dikatakan bahwa PKP harus memahami terlebih dahulu kapan saat penyerahan BKP/JKP karena saat penyerahan BKP/JKP itu merupakan saat terutangnya PPN dan sekaligus menjadi penentuan saat pembuatan Faktur Pajak.
“Saat Penyerahan atau Ekspor BKP/JKP merupakan Saat Terutangnya PPN dan sekaligus merupakan Saat Pembuatan Faktur Pajak”
Seperti ditegaskan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012, Faktur Pajak harus diterbitkan pada saat penyerahan atau ekspor BKP/JKP yang disebutkan dalam Pasal 17 PP tersebut. Sementara di Pasal 17 dan memori penjelasannya, PP tersebut menyatakan bahwa saat penyerahan atau ekspor BKP/JKP merupakan saat terutangnya PPN. Jadi dari kalimat tersebut bisa kita simpulkan bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya PPN yaitu pada saat penyerahan BKP/JKP atau pada saat ekspor BKP/JKP.
Berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan mengenai pengertian saat penyerahan BKP maupun JKP dan saat terutangnya PPN untuk penyerahan BKP dan JKP tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 dan Pasal 19 PP Nomor 1 Tahun 2012. Dan berhubung panjangnya penjelasan tersebut, maka artikel ini terpaksa dibagi menjadi beberapa tulisan bersambung.
Penyerahan BKP Berwujud Bergerak
Seperti sudah diketahui, dalam Pasal 1A UU PPN dikatakan bahwa kata ‘penyerahan Barang Kena Pajak’ meliputi hampir seluruh bentuk penyerahan yang mengakibatkan perpindahan hak atau penguasaan atas Barang Kena Pajak (BKP) tersebut. Jadi bukan semata-mata hanya dalam konteks penjualan barang. Misalnya penyerahan BKP dalam konteks pemberian cuma-cuma, sumbangan, pemakaian sendiri, dan beberapa jenis penyerahan barang yang dilakukan tidak dalam konteks penjualan, ternyata juga termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.
Dari penegasan dan penjelasan Pasal 1A UU PPN tadi, berarti dapat disimpulkan bahwa transaksi atau kegiatan penyerahan BKP itu nantinya akan ada yang memunculkan akun Penjualan atau Piutang dan ada pula transaksi atau kegiatan penyerahan BKP yang tidak memunculkan akun Penjualan maupun Piutang.
Penyerahan barang yang nantinya akan menimbulkan akun Penjualan dan akun Piutang misalnya terjadi dalam konteks atau transaksi penjualan baik penjualan tunai maupun penjualan kredit. Sedangkan penyerahan barang yang tidak menimbulkan akun Penjualan atau Piutang misalnya terjadi dalam konteks bukan penjualan seperti pemberian cuma-cuma, penyerahan antar cabang, pemakaian sendiri, sumbangan, dan lain sebagainya yang bukan merupakan transaksi penjualan.
Perbedaan kriteria terhadap kedua jenis atau bentuk penyerahan BKP tadi, menurut Pasal 17 dan Pasal 19 PP Nomor 1 Tahun 2012, ternyata menimbulkan perbedaan terhadap penentuan saat terutang maupun penerbitan Faktur Pajaknya. Dan seperti yang dijelaskan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, saat pembuatan Faktur Pajak untuk masing-masing kelompok penyerahan BKP adalah sebagai berikut:
- Penyerahan BKP yang Bukan Merupakan Penjualan
Seperti disebutkan oleh Pasal 1A ayat (1) UU PPN, penyerahan BKP yang pada prinsipnya bukan merupakan penjualan (sales) misalnya transaksi/kegiatan penyerahan BKP antar cabang, pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, sumbangan, penyerahan dalam rangka konsinyasi, dan lain sebagainya.
Untuk kegiatan atau transaksi penyerahan BKP yang bukan merupakan penjualan sehingga tidak akan memunculkan akun Penjualan (sales) atau Piutang (Account Receivables), yang ditentukan sebagai saat penyerahan BKP adalah pada saat BKP itu secara nyata diserahkan kepada penerima BKP baik secara langsung atau tidak langsung.
Jika BKP diserahkan kepada penerima secara tidak langsung, misalnya dikirimkan melalui perusahaan jasa pengiriman barang atau perusahaan ekspedisi, maka untuk menentukan timing atau saat penyerahan BKP dalam transaksi atau kegiatan ini, PKP bisa mendasarkan pada tanggal pengiriman BKP (delivery order/DO). Artinya, dalam hal ini tanggal Faktur Pajak harus sama dengan tanggal DO.
Misalnya PT ABC di Jakarta menyerahkan BKP kepada cabangnya di Surabaya. Penyerahan dilakukan melalui jasa pengiriman barang (perusahaan ekspedisi) pada tanggal 13 Desember 2012 sesuai dengan tanggal DO. Sementara BKP tersebut diterima oleh cabangnya di Surabaya pada tanggal 14 Desember 2012. Dalam hal ini PT ABC harus menerbitkan Faktur Pajak pada tanggal 13 Desember 2012 (tanggal yang dicantumkan di Faktur Pajak harus 13 Desember 2012).
Tetapi jika BKP diserahkan dan diterima secara langsung oleh penerima BKP, misalnya dalam kegiatan pemberian sampel di mal atau pusat perbelanjaan, sumbangan, hibah, dlsb, maka yang menjadi saat penyerahan BKP adalah saat BKP itu diserahkan dan diterima secara langsung oleh penerima sampel atau sumbangan. Jadi Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal terjadinya penyerahan BKP tersebut. PKP dalam hal ini juga bisa mendasarkan pada tanggal saat BKP (yang akan diberikan sebagai sampel atau sumbangan) tersebut dikeluarkan dari kartu inventory stock.
- Penyerahan BKP yang Merupakan Penjualan
Untuk kegiatan atau transaksi penjualan BKP, yang nantinya akan memunculkan akun Penjualan atau Piutang dalam jurnal pembukuan PKP, pada prinsipnya sama seperti di atas yaitu pada saat penyerahan BKP dilakukan.
Akan tetapi, seperti dijelaskan oleh Pasal 19 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut, PKP bisa juga mendasarkan penerbitan Faktur Pajaknya pada tanggal invoice atau faktur penjualan atau pada tanggal saat Penjualan (sales) dan Piutang (account receivables) dicatat dalam jurnal. Ini, kata memori penjelasan pasal tersebut, untuk memudahkan PKP dalam merekonsiliasi omset dan penjualan antara SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN.
Misalnya PT ABC di Jakarta menjual BKP kepada pembelinya yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara. Sesuai tanggal DO, BKP itu dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi pada tanggal 13 Desember 2012 dan biasanya baru akan diterima oleh pembeli pada tanggal 15 Desember 2012. Setelah menerima konfirmasi bahwa pada tanggal 15 Desember 2012 barang sudah diterima oleh pembeli, PT ABC kemudian membuat tagihan, invoice atau faktur penjualan dan mencatatnya sebagai Penjualan atau Piutang Penjualan pada tanggal 16 Desember 2012.
Dalam contoh di atas, PT ABC bisa membuat Faktur Pajak sesuai dengan tanggal DO (13 Desember 2012), atau pada tanggal konfirmasi (15 Desember 2012), atau pada tanggal pembuatan invoice atau faktur penjualan (16 Desember 2012). Akan tetapi jika sebelum tanggal-tanggal itu PT ABC sudah menerima pembayaran dari pembelinya (misalnya pembayaran uang muka atau pelunasan), maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat diterimanya pembayaran uang muka atau pelunasan tersebut.
Penyerahan BKP Berwujud Tidak Bergerak
BKP yang dimaksud dalam konteks ini adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya merupakan barang tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu, kata “…yang menurut…sifat atau hukumnya merupakan barang tidak bergerak…” tersebut mengandung makna bahwa ada barang-barang lainnya yang menurut ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku ditetapkan sebagai barang tidak bergerak, seperti misalnya kapal laut dengan ukuran tonase tertentu. Terkait dengan penyerahan BKP berwujud yang sifatnya berupa barang tidak bergerak, UU PPN dan PP Nomor 1 Tahun 2012 tadi menganut prinsip yang agak unik dan berbeda dengan kebiasaan yang lazim terjadi di praktik.
Menurut Pasal 17 ayat (3) huruf b PP Nomor 1 Tahun 2012, penyerahan BKP berwujud tidak bergerak terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut dilakukan baik secara nyata ataupun secara hukum, kepada pihak pembeli. Selanjutnya dalam memori penjelasan Pasal 19 ayat (1), yang khusus berbicara mengenai pembuatan Faktur Pajaknya, PP Nomor 1 Tahun 2012 ini memberikan tiga buah ilustrasi kasus seperti berikut:
- Contoh 1: Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2011. Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus dibuat pada tanggal 1 September 2011. Bila sebelum surat atau akta tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus diterbitkan pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
- Contoh 2: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Faktur Pajak harus dibuat pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
- Contoh 3: Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2011. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2011. Faktur Pajak harus diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2011.
Dalam ketiga contoh tersebut, selalu ada kalimat “…barang diserahkan secara nyata…” atau “…berada dalam penguasaan pembeli atau penerima…”. Dalam konteks serah terima BKP berupa rumah atau bangunan misalnya, kalimat tersebut mengacu pada peristiwa penyerahan kunci rumah atau bangunan tersebut. Sebab dengan diserahkannya kunci rumah, maka pembeli atau penerima rumah/bangunan sudah dianggap menguasai rumah tersebut.
Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Faktur Pajak untuk sebuah transaksi/kegiatan penyerahan BKP berupa rumah/bangunan atau tanah, harus dibuat pada saat kunci rumah/bangunan tersebut kita serahkan kepada pembeli atau penerima rumah/bangunan. Akan tetapi, sekali lagi, jika sebelum kunci rumah/bangunan diserahkan, kita sudah menerima pembayaran dari pembeli atau penerima, maka Faktur Pajak atas pembayaran tersebut harus kita buat pada saat pembayaran kita terima.
BKP yang Tersisa Pada Saat Pembubaran Perusahaan
Jika sebuah usaha atau perusahaan dibubarkan, biasanya akan ada barang-barang yang masih tersisa baik yang berupa barang dagangan maupun barang yang bukan merupakan barang dagangan (seperti inventaris kantor, gedung kantor, aktiva tetap lainnya, dlsb).
Jika barang-barang itu dijual (dilikuidasi), maka tata cara pembuatan Faktur Pajaknya sama seperti yang dijelaskan di atas. Tetapi jika barang-barang itu tidak laku terjual, maka UU PPN menganggap bahwa telah terjadi pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma terhadap barang-barang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN. Dengan demikian, terhadap barang-barang sisa yang tidak laku terjual ini tetap harus dibuatkan Faktur Pajak karena dianggap dipakai sendiri atau diberikan secara cuma-cuma kepada pihak internal perusahaan maupun pihak eksternal.
Tetapi jika seandainya kita bisa membuktikan bahwa barang-barang sisa tersebut tidak laku terjual dan tidak pula diberikan secara gratis kepada pihak lain, maka terhadap barang-barang sisa tersebut tidak terutang PPN dan tidak perlu dibuatkan Faktur Pajaknya. Jika misalnya barang sisa tersebut memang sudah usang dan tidak bisa terpakai lagi, sehingga barang tersebut dimusnahkan (misalnya dibakar), maka kita harus menyiapkan dokumen-dokumen terkait dengan pemusnahan barang sisa tersebut. Misalnya dokumen berita acara pemusnahan barang, foto-foto terkait dengan pemusnahan tersebut, dan lain sebagainya.
bersumber disini