Kali ini admin @tanyaPAJAK akan membahas perbedaan antar Jasa Konstruksi pada PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 Ayat 2.
Sampai saat ini, masih banyak praktisi pajak bahkan Wajib Pajak, berpendapat bahwa setiap imbalan jasa konstruksi merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Benarkah demikian? Apakah benar tidak ada jasa konstruksi yang dapat dipotong selain dengan PPh Final Pasal 4 ayat (2)?
Jasa Konstruksi dalam UU PPh
Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang terbaru, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2008, jasa konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Pertama, jasa konstruksi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan yang berikutnya disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh.
Kebetulan kedua pasal itu bicara mengenai pemotongan pajak atas penghasilan tertentu yang salah satunya adalah penghasilan dari jasa konstruksi. Bedanya, PPh Pasal 4 ayat (2) yang aturan pelaksanaannya ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2008 stdd PP Nomor 40 Tahun 2009 bersifat final sementara PPh Pasal 23 tidak final.
Pada awalnya berpendirian bahwa Pasal 4 ayat (2) adalah pasal dan ketentuan yang bersifat lex specialis dalam soal pengenaan PPh atas penghasilan-penghasilan tertentu jika dibandingkan dengan Pasal 23 maupun pasal-pasal lainnya dalam UU PPh. Begitu juga dengan ketentuan mengenai pengenaan PPh atas jasa konstruksi. Tetapi, dalam perjalanan waktu akhirnya penulis mendapat banyak masukan bahwa ketentuan pengenaan PPh atas jasa konsturksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) tidak lantas begitu saja mengeliminasi pasal-pasal lain yang juga mengatur mengenai ‘objek’ yang sama.
Jujur saja, ungkapan dalam tulisan ini adalah rangkuman pendapat dari beberapa rekan praktisi pajak yang sempat berdiskusi dengan admin @tanyaPAJAK. Namun dalam hal ini sangat setuju dengan pendapat tersebut.
Beda Subjeknya
Jika kita simak untaian kata dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d maupun Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, maka akan dapat kita lihat bahwa penggunaan kata untuk ‘jasa konstruksi’ di kedua pasal tersebut berbeda. Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh frase kata yang digunakan adalah‘usaha jasa konstruksi’. Sementara dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, frase yang digunakan hanya ‘jasa konstruksi’ [tanpa didahului kata ‘usaha’ seperti di Pasal 4 ayat (2)].
Perbedaan kedua frase kata dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan bahwa subjek pajak yang dimaksud kedua pasal itu juga berbeda meskipun jasa yang dimaksudkan nyaris sama, yaitu jasa konstruksi.
Menyangkut Sertifikasi & Kualifikasi Usaha
Dengan memperhatikan frase kata usaha jasa konstruksi yang digunakan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, penulis berpendapat bahwa subjek pajak yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh adalah subjek yang bidang usahanya secara formal adalah jasa konstruksi. Artinya, hanya pengusaha yang sudah memperoleh sertifikasi dan juga kualifikasi di bidang jasa konstruksi saja yang tercakup dalam Pasal 4 ayat (2) ini.
Pendapat ini disimpulkan dengan memperhatikan pula historis pengenaan PPh Final atas jasa konstruksi yang sebelumnya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 140 Tahun 2000. PP Nomor 140 ini adalah PP sebelum berlakunya PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009.
Dalam bagian konsideran (bagian mengingat), PP Nomor 140 Tahun 2000 kala itu menyebut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) sebagai salah satu UU yang dikonsiderani. Ini dinilai oleh banyak praktisi pajak waktu itu sebagai pernyataan implisit bahwa subjek pajak yang tercakup dalam PP tersebut hanyalah pengusaha konstruksi yang sudah memperoleh sertifikasi dan kualifikasi dalam bidang konstruksi. Bahkan umumnya sudah mengantongi izin usaha di bidang konstruksi (Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi/SIUJK).
Kemudian pada saat PP Nomor 51 Tahun 2007 diterbitkan, UU Jasa Konstruksi tidak lagi disebut-sebut sebagai bagian dalam konsideran. Namun demikian, meskipun UU Jasa Konstruksi tidak lagi disebut-sebut pada bagian konsideran di PP Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, tetapi dalam Pasal 1 angka 4, 5 dan angka 6-nya, PP Nomor 51 Tahun 2008 menyatakan sebagai berikut:
“4. Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
5. Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan tau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).
6. Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.”
Frase kata “…yang dinyatakan ahli yang profesional…” dalam ketiga definisi tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya PP Nomor 51 Tahun 2008 memang khusus diperuntukkan bagi mereka yang sudah mendapat penilaian sebagai profesional dalam bidang konstruksi.
Dalam ketentuan umum jasa konstruksi, seperti dinyatakan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi tersebut adalah dengan adanya Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).
SBU adalah sertifikat tanda bukti pengakuan formal atas tingkat/kedalaman kompetensi dan kemampuan usaha dengan ketetapan klasifikasi dan kualifikasi usaha. Jadi dari dokumen ini akan tercantum klasifikasi atau jenis pekerjaan yang dapat dilaksanakan oleh pengusaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan) serta kualifikasinya sekaligus (kecil, menengah, atau besar).
SBU hanya berlaku selama 3 tahun sejak tanggal diterbitkan dengan ketentuan wajib melakukan registrasi ulang pada tahun ke-2 dan tahun ke-3. Jika tidak melakukan registrasi ulang, maka SBU yang bersangkutan dianggap tidak berlaku untuk tahun yang bersangkutan dan tahun berikutnya. Meski SBU-nya dinyatakan tidak berlaku, tetapi pengusaha jasa konstruksi tersebut tetap akan tercantum dan teregister di dalam database LPJK, namun dapat dikatakan tidak mempunyai kualifikasi. Nah mereka inilah yang dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009 dapat dikenakan tarif PPh Final lebih besar, yaitu 4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi dan 6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan konstruksi. Sedangkan yang SBU-nya masih berlaku dikenakan tarif 2% atau 3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi (tergantung kualifikasi kecil atau menengah/besar) dan tarif 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan.
Bukan PPh Final Jasa Konstruksi
Bagi mereka yang belum teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki SBU dari LPJK, maka pengenaan PPh atas imbalan yang mereka terima bukan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa Konstruksi. Imbalan yang mereka terima merupakan objek PPh Pasal 23. Itu pun kalau mereka berstatus sebagai Wajib Pajak badan (perusahaan) dalam negeri. Sementara jika pemberi jasa berstatus Wajib Pajak orang pribadi (individu) dalam negeri, pengenaannya mengacu ke Pasal 21 UU PPh.
Sampai saat ini, masih ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa meskipun pengusaha jasa konstruksi belum memiliki izin usaha dan sertifikat, tetap dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009. Alasannya karena Pasal 4 ayat (2) UU PPh merupakan ketentuan yang lex specialis. Namun jika berpegang pada pendapat ini, maka akan ada kesulitan bagi pengusaha jasa konstruksi yang bersangkutan terutama bila dikaitkan dengan masih adanya pemotongan PPh Pasal 23 (tidak final) atas ‘jasa-jasa konstruksi’ seperti berikut:
Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf r Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 244/PMK.03/2008);
Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf s PMK Nomor 244/PMK.03/2008).
Jika ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa kedua jenis jasa tersebut di atas dalam praktiknya merupakan satu kesatuan pekerjaan dalam sebuah proyek pembangunan konstruksi. Lalu, apakah itu berarti pengusaha konstruksi yang tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat jasa konstruksi ‘dipaksa’ harus memilah mana pekerjaan yang dikenakan PPh Final dan mana yang dikenakan PPh Tidak Final (PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21)? Di samping itu, ketentuan ini juga akan mempersulit terutama dalam menentukan mana biaya-biaya usaha yang non-deductible expense (yang terkait dengan PPh Final) dan mana yang deductible (yang tidak terkait PPh Final).
Kesimpulan
Oleh karena itulah, akhirnya setuju dengan pendapat beberapa rekan penulis yang menyatakan bahwa ketentuan PPh Final Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009, hanya diterapkan bila pemberi jasa (pengusaha jasa konstruksi) telah mengantongi izin usaha atau sertifikasi jasa konstruksi dari lembaga berwenang (misalnya LPJK). Jika izin atau sertifikat (SBU) itu masih berlaku, tarif yang diterapkan adalah:
2% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi kecil;
3% untuk jasa pelaksanaan konstruksi oleh pengusaha yang berkualifikasi menengah atau besar;
4% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan (berlaku baik kualifikasinya kecil, menengah atau besar).
Sementara jika sertifikasi (SBU) sudah tidak berlaku, misalnya karena pengusaha alpa atau lalai untuk melakukan registrasi ulang atau lupa memperpanjang SBU-nya, tarif PPh Final yang diterapkan adalah:
4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi;
6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan.
Apabila ternyata pengusaha jasa konstruksi tidak memiliki izin atau sertifikasi dari lembaga berwenang (tidak memiliki SBU dari LPJK), maka pengenaan PPh-nya bukanlah PPh Final seperti di atas melainkan:
PPh Pasal 23, jika pengusaha jasa konstruksi berbentuk badan (perusahaan); atau
PPh Pasal 21 jika pengusaha jasa konstruksi berstatus individu (Wajib Pajak orang pribadi).
Dalam pasal 4 ayat (2) dikatakan ‘final’ di sini berarti bahwa, jenis pajak ini harus diselesaikan / lunas dalam masa pajak yang sama seperti mereka diterima, dan tidak perlu dilaporkan lagi pada akhir tahun pajak.
sumber artikel disini