Kata “impor” mungkin bukan hal yang asing bagi setiap orang, mengingat kita telah diperkenalkan dengan istilah ini sejak duduk di bangku sekolah. Seperti yang kita pelajari dulu bahwa secara etimologi “impor” berarti pemasukan barang (dan sebagainya) dari luar negeri. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring berkembangnya pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki, khususnya di dunia bisnis, tentunya pemahaman kita tentang impor pun bertambah sehingga impor cenderung menjadi tidak sesederhana sebelumnya.
Kita pun mengetahui bahwa ternyata impor bukan hanya persoalan memasukkan barang dari luar ke dalam negeri. Akan tetapi masih banyak yang perlu dipahami mengenai dunia impor, salah satunya terkait aspek yang tidak pernah lepas dari proses impor-mengimpor ini, yaitu aspek perpajakan. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas aspek perpajakan yang terkait dengan proses impor.
Jika definisi impor secara etimologi adalah pemasukan barang (dan sebagainya) dari luar negeri, secara pajak definisi impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean (Pasal 1 angka 9 UU PPN (UU No. 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009). Adapun yang dimaksud dengan Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. Dan barang yang dimaksud dalam impor di sini terbatas pada Barang Kena Pajak (BKP) yang berwujud.
Bagaimana jika barang yang diimpor adalah BKP tidak berwujud? Berbeda dari praktik bisnis sehari-hari, pajak tidak mengenal impor barang tidak berwujud. Menurut sudut pandang pajak, sebagaimana dapat dilihat dalam UU PPN, jika barang yang diimpor tergolong barang tidak berwujud, maka istilah yang digunakan adalah ‘pemanfaatan’, tepatnya pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean.
Kira-kira pajak apa sajakah yang bersinggungan dengan urusan impor? Berikut jawabannya.
a. PPN
Seperti halnya penyerahan lokal, khususnya penyerahan BKP yang dilakukan oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak), transaksi impor tidak lekang dari pengenaan PPN sebesar 10%. PPN ini dikenakan dari nilai impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan berlaku mengenai impor BKP, sementara PPN atas penyerahan lokal dikenakan atas harga jual atau penggantian.
Kendatipun, ternyata tidak semua barang impor dikenai PPN. Dalam praktiknya, terdapat kategori barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Barang apa sajakah itu? Seperti disebutkan dalam beberapa peraturan pelaksana dari UU PPN, jika barang yang diimpor tergolong BKP Tertentu atau BKP Tertentu yang Bersifat Strategis, maka PPN impor yang terutang diberikan fasilitas bebaskan. Daftar barang yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan tersebut telah disebutkan secara rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP No. 31 Tahun 2007 dan PP No. 146 Tahun 2000 yang telah diubah terakhir dengan PP No. 38 Tahun 2003.
b. PPn BM
PPn BM ini hanya dikenakan jika yang diimpor merupakan Barang Kena Pajak berwujud yang tergolong mewah, dimana pengkategorian mewah atau tidaknya ini berdasarkan ketetapan dari Menteri Keuangan. UU PPN sendiri dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) –nya menjelaskan bahwa barang mewah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- barang tersebut bukan barang kebutuhan pokok
- barang tersebut hanya dikonsumsi masyarakat tertentu, yaitu yang berpenghasilan tinggi
- barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status.
PPn BM atas impor barang ini hanya dikenakan hanya 1 (satu) kali, yaitu pada saat impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Dan pengenaannya tidak memperhatikan pihak yang mengimpor serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.
Berbeda dari PPN atas impor barang, tarif PPn BM ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%, tergantung klasifikasi barang sangat mewah dari Menteri Keuangan.
c. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah satu-satunya PPh yang dikenakan atas impor barang. Tarifnya terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
- 0,5%, khusus untuk impor kedelai, gandum dan tepung terigu yang menggunakan API (Angka Pengenal Impor)
- 2,5% dari nilai impor lainnya yang menggunakan API
- 7,5%, untuk impor yang tidak menggunakan API atau yang tidak dikuasai
Berita baiknya, beberapa transaksi impor dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. Apa saja transaksi-transaksi impor yang dimaksud? Terakhir sebagaimana diatur dalam Peraturan Menkeu No.: 154/PMK.03/2010, transaksi impor yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah sebagaimana tercantum pada tabel di bawah ini.
Jenis Transaksi Impor
1.Impor barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh.
2.Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau PPN (jenis-jenis barang yang dimaksud dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menkeu No.: 154/PMK.03/2010).
3.Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali.
4.Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Selain aspek pajak, setiap importir juga harus memperhitungkan pungutan impor yang dikenal dengan istilah Bea Masuk. Tarif Bea Masuk cukup bervariasi, tergantung jenis barang dan Negara asal barang, yang aturan pemungutannya mengacu pada UU No. 10 Tahun 1995 yang telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006 dan beberapa petunjuk pelaksanaannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri ternyata tidak sesederhana memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Terdapat aspek pajak yang perlu ditunaikan pada saat impor barang, yaitu PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijabarkan di atas, di mana seluruhnya dipungut oleh aparat Bea dan Cukai pada saat impor barang. Selain itu ada pula Bea Masuk juga perlu diperhitungkan.
bersumber disini